Rabu, 22 Juli 2015

Mencari Pemimpin Ideal Untuk NIAS Ke Depan



Persoalan menjadi pemimpin adalah hak manusia karena secara fitrah dan kodrat manusia diciptakan dan mempunyai kecendrungan untuk menjadi pemimpin di semesta jagat, baik pemimpin bagi pribadi, keluarga maupun masyarakat. Namun dalam skala universal dan serius seorang pemimpin harus mempunyai kelayakan atau paling tidak mempunyai “potensi” yang memenuhi syarat.

                                                    
Tahun 2015 oleh sebagian para ahli dikatakan sebagai tahun “politik”, dimana dalam tahun 2015 ada pertarungan yang cukup serius yang akan berujung pada pencaturan politik dalam pentas demokrasi oleh para calon-calon yang didelegasikan dan direkomondasi partai politik maupun secara independen mengusulkan diri menjadi calon. Intinya, pada tahun ini dunia hampir dipenuhi dengan politik, dinamika politik dan prangkat-prangkat lainnya. Semua calon mulai sibuk dengan aktivitas politikya, menghabiskan waktunya untuk melakukan upaya pencitraan diri di dunia publik dengan mengunakan “kempanye” sebagai kuda troya. Berbagai visi dan misi pun rame-rame dipromosikan diberbagai tempat dan waktu tanpa mengenal apakah sosok calon tersebut sebelum proses pencalonan diri sebagai orang “alim” dan sering “puasa” bicara dan berjanji atau tidak, semua tanpa mengenal rambu-rambu.
Dunia politik 2015 menuntut segenap calon untuk kembali mengeksiskan budaya-budaya politik yang sempat menjadi episode politik di hari kemarin. Kata-kata dusta penuh dengan kepalsuan pun mulai diteriakkan menjadi slogan dan patron dalam menghipnotis kesadaran berpikir masyarakat. Bahkan lebih dari itu, kebanyakan para calon dalam rangkah untuk mendapatkan “suara” relah melakukan tindakan pembelian suara dengan nilai nominal uang tertentu sesuai dengan kesepakatan dan keinginan. Dunia politik yang seharusnya menjunjung tinggi nilai keadilan, perdamaian dan kejujuran dalam melakukan kompotisi dengan lawan politik, kini menjadi sesuatu yang sangat akrab dan setia dengan ketidakadilan, ketidakhormonisan serta ketidakjujuran.
Menjadi pemimpin pada esensinya adalah hak manusia karena secara fitrah dan kodrat manusia diciptakan dan mempunyai kecendrungan untuk menjadi pemimpin di semesta jagat, baik pemimpin bagi pribadi, keluarga maupun masyarakat. Dalam skala universal dan serius seorang pemimpin harus mempunyai kelayakan atau paling tidak mempunyai “potensi” yang memenuhi syarat. Menjadi pemimpin bukan persoalan otoritas, etnis, ras dan bangsa tertentu apalagi hak orang tertentu, akan tetapi semua yang mempunyai kelayakan dan memenui syarat. Jika persoalan menjadi pemimpin adalah persoalan otoritas, etnis, ras dan bangsa maka apa yang menjadi program kerja umum yang diproyeksikan pasca terpilihnya akan bermuara pada kepentingan-kepentingan sesaat dan rendahan bahkan terlihat tidak begitu pro dengan kepentingan masyarakat. Apalagi kebiasaan seorang pemimpin ketika hendak mencalonkan dirinya menjadi pemimpin baru merancang dan membuat program kerja strategis dalam bentuk “mitos-mitos” politik sebagai patron dalam upaya mencari masa dan simpatisan maka eksistensi masyarakat yang dipimpin lagi-lagi akan terancam malapetaka “kepentingan” pemimpin. Fonemena-fonemena politik liar yang tidak terkendali ini sudah menjadi sebuah budaya dan trend para calon, sehingga janji-janji palsu pun mulai menghiasi berbagai media kempanye.
Tentunya semua pihak tidak akan sepakat jika seorang yang karena mencalonkan diri baru melakukan langkah-langkah parktis berupa pendesainan program kerja dalam format janji-janji palsu. Sejatinya, seorang pemimpin dalam berjanji atau tepatnya berniat dalam melakukan sebuah langkah restorasi terhadap kehidupan masyarakat bukan pada saat proses pencalonan diri, akan tetapi hal itu sudah eksis pra pencalonan diri. Artinya, seorang calon harus melakukan berbagai tindakan-tindakan yang sesuai dengan apa yang menjadi janji dan niatnya sebelum proses pencalonan diri. Ini bermaksud untuk melihat mana sosok pemimpin yang benar-benar tulus-ikhlas untuk menjadi pemimpin dalam rangkah membenahi berbagai disparitasi sosial yang tak kunjung usai dan mana sosok pemimpin yang tidak tulus-ikhlas dan atau hanya sekedar ingin mendapatkan sebuah “jabatan”,”kursi” dan “tahta” semata. Ingat ! bahwa jika seorang yang menjadi pemimpin hanya dikarenakan ingin mendapatkan sebuah jabatan, kursi dan tahta maka kinerja-kinerja yang dijalani hanya seputar bagaimana caranya mengembalikan uang dan mendapatkan kekuasaan sosial. Sehingga efeknya buka lagi masyarakat yang mencari sosok pemimpin sebagai aktor revolusioner dalam memberikan ragam solusi atas ketimpangan sosial baik yang berkaitan dengan tindakan diskriminasi, ekploitasi hak-hak kaum dhoif dan mustadh’afin maupun tindakan-tindakan yang kontras dengan nilai-nilai kemanusia universal, tapi malah pemimpin yang mencari rakyat  untuk bisa menjadi partner, masa dan partisipannya dalam upaya pemenangannya dalam pertarungan politik. Padahal yang benar adalah rakyatlah yang mencari sosok pemimpin bukan pemimpin yang mencari rakyat untuk jadi masa dan partisipannya. Jika rakyat yang mencari sosok pemimpin maka rakyat sangat berdesiderasi besar agar kiranya sosok pemipmin yang terpilih nanti bisa memberikan hal yang terbaik bagi rakyat dengan menghadirkan ragam program kerja yang pro pada rakyat dan kontra pada kepentingan sesaat dan rendahan kaum elit dan kapitalistik. Dan sebaliknya jika pemimpin yang mencari rakyat maka kesannya pemimpin menuntut agar supaya rakyat memilih sosok pemimpin ala kadarnya tanpa melihat sejauh mana kelayakannya dalam menerima dan menjalankan amanah bahkan ada semacam tuntutan umum agar masyarakat bisa mengikuti apa yang menjadi keinginannya pasca terpilihnya karena mental dan menstrem berpikir rakyat sudah terkapling dan terhipnotis dengan baik oleh politik uang.
Sudah saatnya, kaum “Midle Class” dan “Rausyan Fikr” bangkit untuk menteriakkan suara kebenaran dan kepastian pada rakyat bahwa sejatinya seorang pemimpin terpilih bukan dikarenakan proses iklanisasi diri dengan berbagai mitos-mitos politik akan tetapi semata dikarenakan kelayakan dan kesanggunpan menerima dan menjalankan sebuah amanah yang terstruktur dalam integritas dan akuntabilitas diri. Karena sadar atau tidak sadar semua lapisan masyarakat sangat merindukan dan berharap  akan sosok kepemimpinan yang ideal guna bisa menyelesaikan ketimpangan sosial meski tidak sampai pada radiksnya. Dimana, sosok kepemimpinan ideal yang diharapkan menutup kemungkinan kurang dipahami oleh masyarakat, maka lagi-lagi harus dikasih tahu, supaya kedepannya masyarakat tidak lagi mudah tertipu dan terpola oleh teriakan-teriakan palsu nan indah pesona di atas pentas politik demokrasi. Usahakan bagaimana caranya masyarakat kedepan lebih kritis terhadap ragam problema yang ada dan selanjutnya berani untuk mengambil sikap dan keputusan terhadap sebuah perkara. Semuanya dimaksudkan hanya semata untuk rakyat, bukan untuk pemimpin, elit politik dan juga bukan untuk kaum kapitalistik yang gagah piawai dan begitu intensnya dalam melakukan upaya penindasan demi penindasan terhadap rakyat dengan ragam program massalnya dibawa lindungan ka’bah “kekuasaan” para pemimpin.
Tentunya sosok pemimpin ideal yang dimaksud bukan sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan  orang yang hanya bermuara pada persoalan  kekeuasaan dan potensi yang dimiliki, tapi lebih dari itu sosok pemimpin ideal yang dimaksud adalah sosok pemimpin yang cerdas jangkaunnya kedepan terlepas dari potensi-potensi dasar lainnya. Karena hanya kecerdasan jangkauanlah “idealis” seorang pemimpin mampu kemudian menjalankan sebuah amanah yang diembang dengan baik dan benar, tidak ada dusta diantaranya dalam menghadirkan dan menjalankan sebuah program kerja. Sehingga, program yang terancang dari proses terpilihnya bersifat jangka panjang bahkan keseluruhan bersifat pro pada masyarakat, dan bersamaan itu pula berbagai bentuk kinerja-kinerja yang tidak efektif dan tepat serta yang tidak pro terhadap pembangunan dan pemberdayaan rakyat harus tereliminasi dalam rumusan-rumusan program kerja.
Jadi, kita akan sampai pada kesimpulan lebih lanjut bahwa sampai detik ini NIAS masih mencari bahkan sangat membutuhkan sosok pemimpin ideal guna memimpin NIAS ke depan jauh lebih baik. Dan tentunya tidak sebagaimana klaim para calon dalam slogam dan patronnya pada tiap-tiap media kempaye bahwa NIAS membutuhkan perubahan, yang berkesan bahwa baru detik ini dan hanya melalui kepemimpinan mereka baru bisa sampai pada perubahan yang dimaksud. Padahal itu adalah sebuah slogan “dusta” yang senggaja dihadirkan dalam menghipnotis alam kesedaran berpikir rakyat untuk bisa memilih mereka. Karena semenjak dari kemarin memang NIAS membutuhkan perubahan, dan tentunya untuk sampai pada perubahan harus ada sosok pemimpin yang bisa membawa atau mengarahkan kesana. Dan pemimpin yang dimaksud bukan hanya cerdas dalam memainkan “kebohongan” dalam iklanisasi diri melalui media jaringan sosial akan tetapi pemimpin yang sadar diri dengan potensi kepemimpinan yang dia miliki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar