Persoalan menjadi pemimpin adalah hak manusia karena secara fitrah dan
kodrat manusia diciptakan dan mempunyai kecendrungan untuk menjadi pemimpin di
semesta jagat, baik pemimpin bagi pribadi, keluarga maupun masyarakat. Namun
dalam skala universal dan serius seorang pemimpin harus mempunyai kelayakan
atau paling tidak mempunyai “potensi” yang memenuhi syarat.
Tahun 2015 oleh sebagian para ahli dikatakan sebagai
tahun “politik”, dimana dalam tahun 2015 ada pertarungan yang cukup serius yang
akan berujung pada pencaturan politik dalam pentas demokrasi oleh para
calon-calon yang didelegasikan dan direkomondasi partai politik maupun secara
independen mengusulkan diri menjadi calon. Intinya, pada tahun ini dunia hampir
dipenuhi dengan politik, dinamika politik dan prangkat-prangkat lainnya. Semua
calon mulai sibuk dengan aktivitas politikya, menghabiskan waktunya untuk
melakukan upaya pencitraan diri di dunia publik dengan mengunakan “kempanye”
sebagai kuda troya. Berbagai visi dan misi pun rame-rame dipromosikan
diberbagai tempat dan waktu tanpa mengenal apakah sosok calon tersebut sebelum
proses pencalonan diri sebagai orang “alim” dan sering “puasa” bicara dan
berjanji atau tidak, semua tanpa mengenal rambu-rambu.
Dunia politik 2015 menuntut segenap calon untuk
kembali mengeksiskan budaya-budaya politik yang sempat menjadi episode politik
di hari kemarin. Kata-kata dusta penuh dengan kepalsuan pun mulai diteriakkan
menjadi slogan dan patron dalam menghipnotis kesadaran berpikir masyarakat.
Bahkan lebih dari itu, kebanyakan para calon dalam rangkah untuk mendapatkan
“suara” relah melakukan tindakan pembelian suara dengan nilai nominal uang
tertentu sesuai dengan kesepakatan dan keinginan. Dunia politik yang seharusnya
menjunjung tinggi nilai keadilan, perdamaian dan kejujuran dalam melakukan
kompotisi dengan lawan politik, kini menjadi sesuatu yang sangat akrab dan
setia dengan ketidakadilan, ketidakhormonisan serta ketidakjujuran.
Menjadi pemimpin pada esensinya adalah hak manusia
karena secara fitrah dan kodrat manusia diciptakan dan mempunyai kecendrungan
untuk menjadi pemimpin di semesta jagat, baik pemimpin bagi pribadi, keluarga
maupun masyarakat. Dalam skala universal dan serius seorang pemimpin harus
mempunyai kelayakan atau paling tidak mempunyai “potensi” yang memenuhi syarat.
Menjadi pemimpin bukan persoalan otoritas, etnis, ras dan bangsa tertentu
apalagi hak orang tertentu, akan tetapi semua yang mempunyai kelayakan dan
memenui syarat. Jika persoalan menjadi pemimpin adalah persoalan otoritas,
etnis, ras dan bangsa maka apa yang menjadi program kerja umum yang
diproyeksikan pasca terpilihnya akan bermuara pada kepentingan-kepentingan
sesaat dan rendahan bahkan terlihat tidak begitu pro dengan kepentingan
masyarakat. Apalagi kebiasaan seorang pemimpin ketika hendak mencalonkan
dirinya menjadi pemimpin baru merancang dan membuat program kerja strategis
dalam bentuk “mitos-mitos” politik sebagai patron dalam upaya mencari masa dan
simpatisan maka eksistensi masyarakat yang dipimpin lagi-lagi akan terancam
malapetaka “kepentingan” pemimpin. Fonemena-fonemena politik liar yang tidak
terkendali ini sudah menjadi sebuah budaya dan trend para calon, sehingga
janji-janji palsu pun mulai menghiasi berbagai media kempanye.
Tentunya semua pihak tidak akan sepakat jika seorang
yang karena mencalonkan diri baru melakukan langkah-langkah parktis berupa
pendesainan program kerja dalam format janji-janji palsu. Sejatinya, seorang
pemimpin dalam berjanji atau tepatnya berniat dalam melakukan sebuah langkah
restorasi terhadap kehidupan masyarakat bukan pada saat proses pencalonan diri,
akan tetapi hal itu sudah eksis pra pencalonan diri. Artinya, seorang calon
harus melakukan berbagai tindakan-tindakan yang sesuai dengan apa yang menjadi
janji dan niatnya sebelum proses pencalonan diri. Ini bermaksud untuk melihat
mana sosok pemimpin yang benar-benar tulus-ikhlas untuk menjadi pemimpin dalam
rangkah membenahi berbagai disparitasi sosial yang tak kunjung usai dan mana
sosok pemimpin yang tidak tulus-ikhlas dan atau hanya sekedar ingin mendapatkan
sebuah “jabatan”,”kursi” dan “tahta” semata. Ingat ! bahwa jika seorang yang
menjadi pemimpin hanya dikarenakan ingin mendapatkan sebuah jabatan, kursi dan
tahta maka kinerja-kinerja yang dijalani hanya seputar bagaimana caranya
mengembalikan uang dan mendapatkan kekuasaan sosial. Sehingga efeknya buka lagi
masyarakat yang mencari sosok pemimpin sebagai aktor revolusioner dalam
memberikan ragam solusi atas ketimpangan sosial baik yang berkaitan dengan
tindakan diskriminasi, ekploitasi hak-hak kaum dhoif dan mustadh’afin maupun
tindakan-tindakan yang kontras dengan nilai-nilai kemanusia universal, tapi
malah pemimpin yang mencari rakyat untuk
bisa menjadi partner, masa dan partisipannya dalam upaya pemenangannya dalam
pertarungan politik. Padahal yang benar adalah rakyatlah yang mencari sosok
pemimpin bukan pemimpin yang mencari rakyat untuk jadi masa dan partisipannya.
Jika rakyat yang mencari sosok pemimpin maka rakyat sangat berdesiderasi besar
agar kiranya sosok pemipmin yang terpilih nanti bisa memberikan hal yang
terbaik bagi rakyat dengan menghadirkan ragam program kerja yang pro pada
rakyat dan kontra pada kepentingan sesaat dan rendahan kaum elit dan
kapitalistik. Dan sebaliknya jika pemimpin yang mencari rakyat maka kesannya
pemimpin menuntut agar supaya rakyat memilih sosok pemimpin ala kadarnya tanpa
melihat sejauh mana kelayakannya dalam menerima dan menjalankan amanah bahkan
ada semacam tuntutan umum agar masyarakat bisa mengikuti apa yang menjadi
keinginannya pasca terpilihnya karena mental dan menstrem berpikir rakyat sudah
terkapling dan terhipnotis dengan baik oleh politik uang.
Sudah saatnya, kaum “Midle Class” dan “Rausyan Fikr”
bangkit untuk menteriakkan suara kebenaran dan kepastian pada rakyat bahwa
sejatinya seorang pemimpin terpilih bukan dikarenakan proses iklanisasi diri
dengan berbagai mitos-mitos politik akan tetapi semata dikarenakan kelayakan
dan kesanggunpan menerima dan menjalankan sebuah amanah yang terstruktur dalam
integritas dan akuntabilitas diri. Karena sadar atau tidak sadar semua lapisan
masyarakat sangat merindukan dan berharap
akan sosok kepemimpinan yang ideal guna bisa menyelesaikan ketimpangan
sosial meski tidak sampai pada radiksnya. Dimana, sosok kepemimpinan ideal yang
diharapkan menutup kemungkinan kurang dipahami oleh masyarakat, maka lagi-lagi
harus dikasih tahu, supaya kedepannya masyarakat tidak lagi mudah tertipu dan
terpola oleh teriakan-teriakan palsu nan indah pesona di atas pentas politik
demokrasi. Usahakan bagaimana caranya masyarakat kedepan lebih kritis terhadap
ragam problema yang ada dan selanjutnya berani untuk mengambil sikap dan
keputusan terhadap sebuah perkara. Semuanya dimaksudkan hanya semata untuk
rakyat, bukan untuk pemimpin, elit politik dan juga bukan untuk kaum
kapitalistik yang gagah piawai dan begitu intensnya dalam melakukan upaya
penindasan demi penindasan terhadap rakyat dengan ragam program massalnya
dibawa lindungan ka’bah “kekuasaan” para pemimpin.
Tentunya sosok pemimpin ideal yang dimaksud bukan
sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan
orang yang hanya bermuara pada persoalan
kekeuasaan dan potensi yang dimiliki, tapi lebih dari itu sosok pemimpin
ideal yang dimaksud adalah sosok pemimpin yang cerdas jangkaunnya kedepan
terlepas dari potensi-potensi dasar lainnya. Karena hanya kecerdasan
jangkauanlah “idealis” seorang pemimpin mampu kemudian menjalankan sebuah
amanah yang diembang dengan baik dan benar, tidak ada dusta diantaranya dalam
menghadirkan dan menjalankan sebuah program kerja. Sehingga, program yang
terancang dari proses terpilihnya bersifat jangka panjang bahkan keseluruhan
bersifat pro pada masyarakat, dan bersamaan itu pula berbagai bentuk
kinerja-kinerja yang tidak efektif dan tepat serta yang tidak pro terhadap
pembangunan dan pemberdayaan rakyat harus tereliminasi dalam rumusan-rumusan
program kerja.
Jadi, kita akan sampai pada kesimpulan lebih lanjut
bahwa sampai detik ini NIAS masih mencari bahkan sangat membutuhkan sosok
pemimpin ideal guna memimpin NIAS ke depan jauh lebih baik. Dan tentunya tidak
sebagaimana klaim para calon dalam slogam dan patronnya pada tiap-tiap media
kempaye bahwa NIAS membutuhkan perubahan, yang berkesan bahwa baru detik ini
dan hanya melalui kepemimpinan mereka baru bisa sampai pada perubahan yang
dimaksud. Padahal itu adalah sebuah slogan “dusta” yang senggaja dihadirkan
dalam menghipnotis alam kesedaran berpikir rakyat untuk bisa memilih mereka.
Karena semenjak dari kemarin memang NIAS membutuhkan perubahan, dan tentunya
untuk sampai pada perubahan harus ada sosok pemimpin yang bisa membawa atau
mengarahkan kesana. Dan pemimpin yang dimaksud bukan hanya cerdas dalam
memainkan “kebohongan” dalam iklanisasi diri melalui media jaringan sosial akan
tetapi pemimpin yang sadar diri dengan potensi kepemimpinan yang dia miliki.